Pages

Sunday, May 9, 2021

FILSAFAT KEBENARAN

 

BAB I

TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

A.    Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:

1.      Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia.

2.      Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio.

3.      Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.

4.      Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

B.     Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

1.      Teori Corespondence

Menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar

 bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

2.      Teori Consistency

Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

3.      Teori Pragmatisme

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

4.      Kebenaran Religius

Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?

Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.

A.    Filsafat Kebenaran

1.      Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya

Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:

a.       Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia.

b.      Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio.

c.       Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.

d.      Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.

Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.

Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.

Ukuran Kebenarannya :

-          Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran.

-          Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.

-          Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.

Jenis-jenis Kebenaran :

1.      Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan).

2.      Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan).

3.      Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata).

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebenaran itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.

2.      Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

a.       Teori Corespondence

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.

Teori korispodensi (corespondence theory of truth) ® menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :

1)      Statemaent (pernyataan)

2)      Persesuaian (agreemant)

3)      Situasi (situation)

4)      Kenyataan (realitas)

5)      Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.

Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

b.      Teori Consistency

Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.

Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.

Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.

Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C

Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.

Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.

c.       Teori Pragmatisme

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.

Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.

Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.

Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :

1)      Sesuai dengan keinginan dan tujuan

2)      Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen

3)      Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)

Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).

Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.

d.      Kebenaran Religius

Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.

Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran ini :

Agama sebagai teori kebenaran

Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.

B.     Filsafat Kebaikan

Kadang kebaikan perlu di uji kebenarannya sebab banyak yang baik belum tentu menjad benar pula. Kebaikan bisa diketahui kebanarannya setelah dilakukan uji coba paktual atau penalaran logis. Uji faktual membutuhkan fakta empirik untuk memastikan sesuatu yang dianggap mujarab bagi masyarakat maka harus dites. sementara uji penalaran dilakukan dengan melahirkan banyak pertanyaan layaknya para filosof yang selalu menanyakan setiap ungkapan yang dianggap sudah benar dan baik. Dia seperti halnya Socrates sosok filosof ini bertanya dalam bentuk dialektika atau dalam pengertian sederhananya dialog, kata dialog cocok bagi penganut pemikiran simpel dan umum agar mudah dimengerti namun jika di runut prosesnya maka dialektika bermakna sebuah diskurusus mendalam atas sebuah persoalan apakah bisa dikategorikan benar dan terukur.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian dianalisa sampai melahirkan kembali argumentasi dan setiap argumentasi dibantahkan dengan argumentasi berbentuk pertanyaan. Tak ada kesimpulan final sebuah jawaban sebab jawaban tersebut melahirkan kembali pertanyaan bahkan setiap jawaban sekaligus pertanyaan kembali. Disinilah kuci kelahiran makna secara mendalam, filosofis dan konsisten sebab proses uji Validasinya terus dilakukan sampai nalar merasa buntu lagi menemukan bantahan dan gugatan atasnya

Cara dialektika Socrates tersebut membuat diskusi, sambil bertanya dan semua jawaban kemudian menjadi pertanyaan kembali dalam 3 kategori, kebaikan, kebenanaran dan nilai mamfaat sebuah kebenaran. Ini standar pertanyaan dan dialektika Socrates jadi sama sekali bukan omongan kosong sebab diskursusnya memiliki standar mendalam dan konsisten. Jika kebaikan diuji tidak benar maka mana bisa dikatakan kebaikan, obat yang sejak awal diproduksi untuk menyembuhkan sakit namun ada saatnya menjadi tidak benar sebagai penyembuh sebab digunakan melebihi dosis. Sementara kebaikan harus di uji secara faktual, naratif, logis tidaknya dengan model ferivikasi analitik. Proses verifikasi analitik tersebut tentu dengan asumsi logis, baik berangkat dari pandangan definisi, argumentasi, debat, retorika maupun uji kevalitan menurut aturan sastra.

Proses uji secara nalar ini dilakukan setelah selesai uji fakta atau sebaliknya uji fakta baru uji nalar. Kedunya satu kesatuan tak terpisahkan. Kebenaran bisa benar dalam logika, tapi bisa salah dalam fakta itulah sebabnya banyak teori tak berdasar sebab bertentangan dengan fakta. Saya jadi percaya jika banyak orang lapangan kecewa dengan banyaknya teori bahkan membantah bahwa para ilmuwan sebenarnya orang yang paling tidak paham kondisi lapangan, ilmunya dia peroleh dari hasil renungan sementara fakta itulah dasar logika.

Sebaliknya uji fakta tidak selamanya benar juga sebab perubahan pada fakta selalu terjadi. Perubahan ini membuat para filosof berkesimpulan ‘panterai’, segala sesuatu berubah, sehingga tak ada kebenaran yang final dalam fakta. Ini juga yang menjadi dasar keraguan filosof Modern Karl Popper sampai membuat teori ‘falsifikasi’ sebagai bentuk bantahan kemutlakan pemikiran para filosof atau teori ilmuan. Dia (Popper) ingin menunjukkan bahwa kebenaran final itu bisa dibantah, kebenarahn teori itu bisa dibantah dengan dialektika pada fakta dan argumentasi logis. Caranya dengan melahirkan bantahan yang menggugat teori tersebut, disinilah dia akhirnya melahirkan rumus sederhana namun amat filosofis, P1–>TS–>EE–>P2.

Tentu apa yang ditinggalkan Socrates memang sulit dibantahkan meski Popper sudah membuat rumus atas kebenaran mutlak, tapi minimal bisa didialogkan lagi agar menjadi sinergis memahaminya dan dinamis memahaminya sebab cara terbaik membangun pemahaman dengan adanya dialog pengetahuan, itu juga cara Nur Khalis Madjid ingin membangun peradaban lewat dialog. Kebenaran, kebaikan harus mengantarkan pada nilai mamfaat. Kadang saya mendengar guru saya menyentil teori Pytagoras yang memang diakuinya benar, baik namun tidak ada gunanya dan mamfaatnya. Pemahamannya, teori Pytagoras tentang rumusnya memang teruji namun apa gunanya pada kita secara implimentatif sehingga pemahaman tak berguna meski benar sulit membuat kita semamin sadar. Mungkin disinilah spiritnya bahwa seseorang akan menjadi lebih merasakan sesuatu itu berharga jika dia membawa mamfaat secra implementasi atau terasa secara personal.

Kita bicara demokrasi yang dianggap baik, benar namun jika ternyata faktanya hanya membuka seluruh data-data bangsa sehingga asing bebas mengeksploitasi informasi tersebut untuk dipergunakan mengintervensi penegakan hukum dan pembuatan kebijakan oleh orang yang disandera karena kasus tertentu. Kita berbicara transparansi minimal untuk mengubur korupsi tidak lagi jalan dan menguasai birokrasi, caranya membuka bukti realisasi anggaran sehingga nampak dimana potensi korupsi demi menghindari penyimpangan secara langsung maupun terselubung, tapi saat data itu digunakan untuk menekan dan menguasai kita oleh pihak asing, disinilah letaknya idealisme yang akan membuat kita menjadi dilematis. Kita akhirnya perlu kembali berfikir kebaikannya sebuah hal yang diperjuangkan, ternyata kebaikan mengantar pada 2 hal, 1. menjadi senjata lawan untuk melumpuhkan kita sendiri, disini kita perlu melakukan refleksi dan penataan ulang, 2 lagi untuk memperbaiki diri dan bangsa, tentu akan sangat baik jika dilanjutkan sebab membawa nilai positif.

Kadang kebaikan di abaikan oleh orang baik karena pandangan dan pengetahuan setiap orang-masing ada bentuknya dan setiap bentuk pengetahuan merupakan bentukan kultural. Jika ada orangb baik mengutuk kebaikan maka orang baik yang membawanya juga ikut mengutuk orang yang mengutuk tersebut. Jika yang membawa kebaikan itu orang dilema maka akan ikut mengutuknya sampai akhirnya kebaikan itu berada di tong sampah tak berdaya lagi.

Setiap orang punya latar belakang kehidupan, punya budaya, punya orang tua, punya guru, punya banyak teman dan setiap hal tersebut sangat mempengaruhi subjek. Manusia akhirnya dalam nalar logis ‘post tradisionalisme’, logika ‘kulturalisme’ megambil kesimpulan, tak ada manusia yang mandiri, tak ada manusia yang bebas dari budayanya, tak ada manusia yang tak berkepentingan sehingga kebenaran, kebaikan dan nilai mamfaat sesuatu akan bersesuaian jika memiliki dasar kesamaan kultural. Pandangan tersebut telah mematahkan logika objektivisme dan normalisasi manusia dari intervensi sebab segala sesuatunya ada intervensinya. Maka yang jadi korban, kebanaran menjadi digugat, dipertanyakan kembali sampai akhirnya melahirkan dialektika baru.

Kemudian orang yang menilai sebuah kebaikan, kebanaran dan nilai mamfaat juga sangat dipengaruhi oleh kemampuannya mengeksplorasi fakta melalui logikanya, kemampuan empiriknya termasuk renungannya yang melibatkan hati. Nah, jika ternyata dia bukan seorang peneliti menilai sebuah konsep penelitian akan terjadi balance, penilaiannya menjadi tidak berguna, tidak bermamfaat karena spesifikasinya kontradiktif. Bukan berarti dia tidak berhak, sebab konsep hak asasi manusia dan demokrasi telah menempatkan semua manusia menjadi berhak menilai atas sebuah kenyataan baik atau buruknya. Tapi, perlu diingat apakah demokrasi sudah mewakili semua logika kebanaran, apakah konsep hak asasi manusia sudah bersesuaian pada kebanaran hakiki kemanusian.

Kadang sesuatu yang tidak ada kaitannya dikait-kaitkan karena alasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), kadanga juga sesuatu yang harusnya dikaitkan tapi tidak diakaitkan juga karena alasan demokrasi dan  Hak Asasi Manusia (HAM) seakan logika  Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi telah menjadi tersandera oleh nalar bebas manusia. Saya bukan mau menggugat demokrasi dan  Hak Asasi Manusia (HAM) sebab itu bukan porsi saya, hanya memberikan sebuah rumusan atas sebuah pandangan manusia tentang kebenaran yang bisa diplesetkan atau dipandang hina hanya karena kebodohannya saja.

Jika orang baik saja bisa mengabaikan kebaikan apalagi orang jahat, tentu lebih lagi tetapi kadang karena apa orang jahat justru mendukung kebaikan anda. Jika orang baik menolak kebenaran dan kebaikan otomatis orang jahat juga demikian, tapi logika kita kadang terbalik jika menggunakan nalar dialektis sebab ada kalanya orang yang kita pandang jahat menjankan kebaikan dan menghargai sebuah kebaikan dibanding orang yang baik dalam kasat mata kita. Semua tergantung orangnya juga.

Kenapa orang baik bisa mengabaikan kebaikan karena soal kebodohan sesuai penjelasan tadi atau latar budayanya yang kontras. Sementara orang yang kita pandang jahat justru menerima kebaikan dan kebenaran itu jauh lebih pasih dari orang baik alasannya faktor kebetulan dan pengetahuan. Faktor kebetulan ini mungkin karena dia lagi ada masalah maka dia kaitkan dirinya dengan kebaikan agar mendapat simpati publik, mungkin ini cocok dengan penalaran politisi yang kadang ada yang ingin membuat kebaikan dan kebenaran untuk melegitimasi supaya di pandang benar. Faktor Pengetahuan itu juga penting, orang yang jahat bisa lebih mulia dari orang baik karena ilmunya. Nabi sendiri menggariskan bahwa orang yang tidur tapi berilmu bisa lebih baik dari orang shalat karena kebodohannya. Disini kita bisa melegitimasinya dalam persfektif teologis, tapi bisa jadi maksud nabi Muhammad SAW, adalah orang yang tidur tadi juga sekaligus orang baik.

C.    Filsafat Seni dan Keindahan

1.      Seni dan keindahan

Perasaan dan intuisi merupakan alat bagi seni dalam menemukan kebenaran yang paling mendasar, universal dan abadi. Dasarnya adalah pengalaman indrawi manusia yang bersifat subjektif, kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya dapat dihayati dan dirasakan, dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa dijelaskan. Kualitas perasaan tersebut harus dialami sendiri oleh manusianya sehingga ia mampu menemukan kebenarannya. Oleh sebab itu Jakob Sumardjo menganggap bahwa seni erat kaitannya dengan agama dalam hal kebenaran, sebab kehadiran sesuatu yang transendental (bukan dari dunia ini yang dipercayai) dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari, seni music, seni teater, seni sastra, dan seni rupa erat kaitannya dengan manusia purba yang sering melakukan upacara-upacara kepercayaan yang menghadirkan dunia gaib melalui peristiwa kesenian. Hal tersebut terjadi karena seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata. Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi. Dengan demikian, kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide. Dasarnya adalah pengalaman empiris manusia, tetapi yang ditemukannya adalah realitas baru yang non-empiris.

2.      Unsur-unsur filsafat seni

Menurut Jakob Sumardjo (2000: 29), Filsafat seni yang merupakan bagian dari estetika modern, tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni (hasil atau produk), tetapi juga aktifitas manusia atas produk tersebut, baik keterlibatannya dalam proses produksi maupun caranya mengevaluasi dan menggunakan produk tersebut.

Ada tiga pokok persoalan filsafat seni, yakni seniman atau kreator sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni, dan penikmat seni atau apresiator. Antara seniman dan public seni muncul konteks budaya seni, sedangkan dari unsure benda seni muncul persoalan nilai seni dan pengalaman seni. Secara lebih lengkap akan dijelaskan berikutnya.

a.       Seniman

Setiap karya seni muncul dari seorang seniman, apakah karya seni itu berbobot, kurang berbobot, atau seni kelas bawah pasti muncul dari seorang seniman. Beberapa persoalan yang sering muncul terkait seniman dengan karyanya adalah kreatifitas dan ekspresi. Apakah yang dimaksud kreatifitas? Apa pula yang dimaksud dengan ekspresi? Dan apa bedanya dengan refresentasi? Bagaimana masalah gender dalam berkesenian? Apa bedanya seniman dengan pengrajin, tukang, dan desainer? Bagaimana pribadi seniman tampak dalam karyanya yang menimbulkan beragam gaya, dan aliran dalam seni?. Seniman menekankan pada aspek ekspresi, kreasi, orisinalitas, intuisi, imajinasi, ide, konsep, keterampilan dan referensi.

b.      Karya Seni/Benda Seni

Karya seni adalah hasil proses kreasi seniman berwujud visual dua dimensi maupun tiga dimensi (Seni rupa, patung, lukis, desain, arsitektur), wujud audio (music dan sastra), audio visual (Film, teater, seni tari) yang dapat dinikmati atau diapresiasi melalui berbagai indra yang dimiliki oleh manusia. Benda seni atau karya seni terkait erat dengan medium atau bahan yang digunakan dalam menciptakan karya seni tersebut. Beberapa pertanyaan yang biasa muncul terkait karya atau benda seni adalah apakah akrya seni merupakan peniruan kenyataan (istilah Plato mimesis) atau merupakan ekspresi jiwa seniman. Persoalan subjektifitas dalam seni (ekspresi) dan objektifitas (mimesis) berlangsung di lingkungan penciptaan (seniman). Persoalan lainnya adalah seni tinggi dan seni rendah, seni eksklusif dan seni pinggiran, istilah Sanento Yuliman “seni rupa bawah dan seni rupa atas”

Karya seni atau benda seni menekankan pentingnya aspek bentuk, material, struktur, symbol, dan estetika.

c.       Publik Seni/Apresioator

Publik seni adalah masyarakat luas yang berasal dari latar belakang social dan ekonomi berbeda. Publik seni penting sebab seni bukan hanya masalah seniman dan karya seninya, melainkan bagaimana karya seni dapat berkomunikasi atau berdialog dengan orang lain. Agar karya seni dapat berdialog secara baik dengan masyarakatnya, maka diperlukan seorang curator atau kritikus yang menjelaskan secara lebih obyektif tentang struktur estetika dan makna sebuah karya seni.

Seorang seniman disebut seniman oleh masyarakatnya sebab status yang diperjuangkannya. Walaupun tidak seluruh masyarakat dapat diklaim sebagai public seni, namun sebagian besar masyarakat yang pernah dan berkeinginan menikmati karya seni dapat menjadi bagian dari publik seni. Publik seni tertentu seperti kolektor dan para konsumen seni sangat berperan dalam menentukan status dan kelas dari seorang seniman.

3.      Pengertian Filsafat dan Seni

Clive Bell, seorang filsuf seni klasik modern, seni adalah significant form (bentuk bermakna), menurutnya, semua system estetik dimulai dari pengalaman pribadi subjek tentang terjadinya emosi yang khas, ketika sesoorang melihat karya seni (seni lukis), dalam dirinya akan timbul suatu perasaan atau emosi yang khas, yang tidak sama dengan dengan perasaan sehari-hari kita seperti marah, sedih, gembira, mulia, dan lain-lain. Perasaan khas tersebut disebut emosi estetik yang muncul dari penangkapan atas struktur estetika karya seni. Leo Tolstoi (1828-1910) Sastrawan Rusia terkemuka.

Menurut Prof. Dr. Sudjoko, dalam bahasa jawa dikenal kata kagunan atau pakaryan yang menunjuk pada kata seni.

Kamus Belanda-Melayu susunan Klinkert, seni alias kunst mempunyai pengertian khidmat, ilmu, pengetahuan, kepandaian, dan ketukangan.

4.      Seni sebagai ekspresi

Sering kita mendengar istilah seni sebagai media ekspresi, apa yang dimaksud dengan ekspresi ? serta bagaimana seorang seniman mengekspresikan perasaannya dalam karya seni?. Ekspresi adalah sesuatu yang dikeluarkan, seperti cairan gula yang dikeluarkan oleh tebu yang diperas, tindakan mengamuk yang dilakukan sesoorang yang ditekan perasaan marah, atau sikap memeluk dan membelai yang dikeluarkan oleh dua insan yang dilanda gejolak cinta.

Dalam seni, perasaan harus dikuasai terlebih dahulu sebelum diekspresikan dalam wujud karya. Perasaan harus dijadikan objek, diatur, dikelola, dan diendapkan sebelum diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk karya seni.

Darimana sumber perasaan yang diekspresikan muncul? Perasaan merupakan respon individu terhadap sesuatu diluar dirinya, yakni lingkungan sekitarnya, persaan juga bersumber dari gagasan dan ide individu seorang seniman. Untuk mengekspresikan perasaan tersebut diperlukan keterampilan seniman dalam mengolah media untuk mewujudkan ekspresi tersebut secara lebih sempurna, semakin tinggi keterampilan seniman maka semakin sempurna pula kualitas perasaan yang diekspresikan tersebut, dan semakin tinggi kualitas ekspresi perasaan akan menjadikan bobot karya seni yang dihasilkan juga semakin tinggi. Karya seni lahir karena ada seniman yang menghadirkan karya tersebut.

Menurut Jacob Sumardjo (2000:79), Karya seni adalah kerja yang serius, sama seriusnya dengan ilmuwan mencari kenyataan baru dari gejala alam. Perlu ada kerja keras, pengamatan data, butuh ketajaman intuisi dalam melihat kebenaran dibalik permukaan, perlu penguasaan tekni seni yang tinggi dan cerdas, agar dapat menghasilkan karya seni yang yang berkualitas, baik mimesis maupun imajinatif idealis. Cara memandang dunia boleh berbeda, cara mencari kebenaran boleh berbeda, tetapi tetap dituntut adanya karya yang memberikan sumbangan terhadap peningkatan kualitas hidup manusia.

5.      Seni sebagai benda

Dalam seni rupa, penggolongan seni secara umum dibagi dua, seni murni (pure art/fine art) dan seni pakai (apllied Art). Pure Art atau seni murni adalah seni yang diciptakan semata-mata untuk dinikmati estetika dan keindahannya, misalnya lukisan, patung, seni grafis, seni pahat, seni music, seni balet dan beragam seni lainnya yang dibuat tanpa adanya unsure fungsional yang langsung berhubungan dengan fisik manusia. Jenis seni seperti ini pada saman yunani romawi digolongkan sebagai seni halus atau istilah Sanento Yuliman sebagai seni rupa atas. Menurut Jakob Sumardjo seni semacam ini digolongkan sebagai seni besar (major art) sebab dianggap sebagai seni bagi kaum yang merdeka. Para pencipta dari jenis seni inilah yang diklaim sebagai seniman.

Sedangkan applied art atau seni pakai adalah seni yang diciptakan dengan tujuan agar memiliki fungsi secara langsung bagi kehidupan manusia, disamping itu juga memiliki estetika sebagai penunjang. Sebagian karya Applied art kemudian berkembang dengan istilah desain, dimana tuntutan kebutuhan masyarakat atas jenis seni ini yang semakin tinggi sehingga aspek komersialisasinya dapat memberi jaminan kesejahteraan yang lebih baik bagi para kreatornya atau desainernya. Karya-karya seni applied art seperti mebel, tapestry, batik, busana, kerajinan souvenir, keramik, kriya, desain interior, desain produk, desain grafis, dan aneka desain lainnya. Para creator atau pencipta seni ini lebih sering disebut sebagai tukang, pengrajin, atau desainer.

Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.

Estetika berasal dari bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Kali pertama digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.

Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal, yaitu:

1.      Studi mengenai fenomena estetis

2.      Studi mengenai fenomena persepsi

3.      Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis

6.      Penilaian Keindahan

Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

7.      Konsep The Beauty and The Ugly

Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Hal ini berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.

8.      Sejarah Penilaian Keindahan

Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek jasmani dan aspek rohani

 


 

BAB III

KESIMPULAN

Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu.

Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.

Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r asio, intelektual).

Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.

Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

 


 

DAFTAR RUJUKAN

Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional

Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius

Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

 

ENTRI

𝗦𝗧𝗘𝗠𝗣𝗘𝗟 𝗞𝗘𝗦𝗨𝗟𝗧𝗔𝗡𝗔𝗡 𝗧𝗔𝗟𝗟𝗢 ( Mangkasar)

 Sultan Talloq Harun ar-Rasyid ال وتسق ب اللاهي ال اذهم اس سولثن هارون ار رشيد شهاهيبو مملاكه تللوق ب فدل اللاهي ار رحمن Al Watsiq billahi a...

POPULAR POST