BAB
I
TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT
Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
A.
Pengertian
Kebenaran dan Tingkatannya
Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:
1.
Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia.
2.
Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah
pula dengan rasio.
3.
Tingkat
filosofis, rasio dan pikir
murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
4.
Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Manusia selalu mencari kebenaran,
jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya
dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
B.
Teori-Teori
Kebenaran Menurut Filsafat
1.
Teori
Corespondence
Menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar
bila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.
2.
Teori
Consistency
Teori
ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
3.
Teori
Pragmatisme
Paragmatisme
menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu
itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan
tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya
manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu
melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4.
Kebenaran
Religius
Kebenaran
tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini
secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pendidikan
pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan
kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus
menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu.
Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan
tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah
kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran
mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada
kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
A. Filsafat Kebenaran
1.
Pengertian
Kebenaran dan Tingkatannya
Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa
kebenaran.
Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:
a.
Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia.
b.
Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah
pula dengan rasio.
c.
Tingkat
filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya.
d.
Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat
tingkat kebenaran ini
berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara
terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya
pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca
indra.
Kebenaran
itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran
itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran
Kebenarannya :
-
Berfikir
merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran.
-
Apa
yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.
-
Oleh
karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.
Jenis-jenis
Kebenaran :
1.
Kebenaran
Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan).
2.
Kebenaran
ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan).
3.
Kebenaran
semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata).
Manusia
selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan
dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia
akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan
manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup
yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan
dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran
agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani
merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebenaran itu
bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang
menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai
kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap
oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman
ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang
dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat
berarti untuk dijalankan oleh manusia.
2.
Teori-Teori
Kebenaran Menurut Filsafat
a.
Teori
Corespondence
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan).
Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan,
realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori
korispodensi (corespondence theory of truth) ® menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1)
Statemaent
(pernyataan)
2)
Persesuaian
(agreemant)
3)
Situasi
(situation)
4)
Kenyataan
(realitas)
5)
Putusan
(judgements)
Kebenaran
adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).
Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore
dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,
serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
Cara
berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga
pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral
yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral
ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah
lakunya.
Artinya
anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral
itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau
tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif
bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah
laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
b.
Teori
Consistency
Teori
ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut
teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan
subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada
subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu
realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman
subyek lain.
Teori ini
dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di
dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori
konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan
yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan
dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test)
atas arti kebenaran tadi.
Teori
koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila
di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna
pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan
yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan
kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika
A = B dan B = C maka A = C
Logika
matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori
ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan
(klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data
terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur
atau batal dengan sendirinya.
c.
Teori
Pragmatisme
Paragmatisme
menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu
itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan
tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya
manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu
melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia
membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas
pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika
teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu
benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar
(kebenaran). Teori
pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori
atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi
kehidupan manusia.
Kaum
pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat
dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence).
Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya.
Akibat/ hasil
yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1)
Sesuai
dengan keinginan dan tujuan
2)
Sesuai
dengan teruji dengan suatu eksperimen
3)
Ikut
membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori
ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf
Amerika tokohnya adalah Charles S.
Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam
James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi,
pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di
dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya
setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori
korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita
(teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam
program solving.
d.
Kebenaran
Religius
Kebenaran
adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran
tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini
secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.
Nilai
kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi
ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan,
kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran
ini :
Agama sebagai
teori kebenaran
Ketiga
teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan
sebagai landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber
dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran,
manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian,
sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu
sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat
memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
B.
Filsafat
Kebaikan
Kadang
kebaikan perlu di uji
kebenarannya sebab banyak yang baik belum tentu menjad benar pula. Kebaikan
bisa diketahui kebanarannya setelah dilakukan uji coba paktual atau penalaran
logis. Uji faktual membutuhkan fakta empirik untuk memastikan sesuatu yang
dianggap mujarab bagi masyarakat maka harus dites. sementara uji penalaran
dilakukan dengan melahirkan banyak pertanyaan layaknya para filosof yang selalu
menanyakan setiap ungkapan yang dianggap sudah benar dan baik. Dia seperti
halnya Socrates sosok filosof ini bertanya dalam bentuk dialektika atau dalam
pengertian sederhananya dialog, kata dialog cocok bagi penganut pemikiran
simpel dan umum agar mudah dimengerti namun jika di runut prosesnya maka
dialektika bermakna sebuah diskurusus mendalam atas sebuah persoalan apakah
bisa dikategorikan benar dan terukur.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut kemudian dianalisa sampai melahirkan kembali argumentasi dan setiap
argumentasi dibantahkan dengan argumentasi berbentuk pertanyaan. Tak ada
kesimpulan final sebuah jawaban sebab jawaban tersebut melahirkan kembali
pertanyaan bahkan setiap jawaban sekaligus pertanyaan kembali. Disinilah kuci
kelahiran makna secara mendalam, filosofis dan konsisten sebab proses uji
Validasinya terus dilakukan sampai nalar merasa buntu lagi menemukan bantahan
dan gugatan atasnya
Cara
dialektika Socrates tersebut membuat diskusi, sambil bertanya dan semua jawaban
kemudian menjadi pertanyaan kembali dalam 3 kategori, kebaikan, kebenanaran dan
nilai mamfaat sebuah kebenaran. Ini standar pertanyaan dan dialektika Socrates
jadi sama sekali bukan omongan kosong sebab diskursusnya memiliki standar
mendalam dan konsisten. Jika kebaikan diuji tidak benar maka mana bisa dikatakan
kebaikan, obat yang sejak awal diproduksi untuk menyembuhkan sakit namun ada
saatnya menjadi tidak benar sebagai penyembuh sebab digunakan melebihi dosis.
Sementara kebaikan harus di uji secara faktual, naratif, logis tidaknya dengan
model ferivikasi analitik. Proses verifikasi analitik tersebut tentu dengan
asumsi logis, baik berangkat dari pandangan definisi, argumentasi, debat,
retorika maupun uji kevalitan menurut aturan sastra.
Proses
uji secara nalar ini dilakukan setelah
selesai uji fakta atau sebaliknya uji fakta baru uji nalar. Kedunya satu
kesatuan tak terpisahkan. Kebenaran bisa benar dalam logika, tapi bisa salah
dalam fakta itulah sebabnya banyak teori tak berdasar sebab bertentangan dengan
fakta. Saya jadi percaya jika banyak orang lapangan kecewa dengan banyaknya
teori bahkan membantah bahwa para ilmuwan sebenarnya orang yang paling tidak
paham kondisi lapangan, ilmunya dia peroleh dari hasil renungan sementara fakta
itulah dasar logika.
Sebaliknya uji fakta tidak selamanya benar juga sebab
perubahan pada fakta selalu terjadi. Perubahan
ini membuat para filosof berkesimpulan ‘panterai’, segala sesuatu berubah,
sehingga tak ada kebenaran yang final dalam fakta. Ini juga yang menjadi dasar
keraguan filosof Modern Karl Popper sampai membuat teori ‘falsifikasi’ sebagai
bentuk bantahan kemutlakan pemikiran para filosof atau teori ilmuan. Dia
(Popper) ingin menunjukkan bahwa kebenaran final itu bisa dibantah, kebenarahn
teori itu bisa dibantah dengan dialektika pada fakta dan argumentasi logis.
Caranya dengan melahirkan bantahan yang menggugat teori tersebut, disinilah dia
akhirnya melahirkan rumus sederhana namun amat filosofis,
P1–>TS–>EE–>P2.
Tentu
apa yang ditinggalkan Socrates memang sulit dibantahkan meski Popper sudah
membuat rumus atas kebenaran mutlak, tapi minimal bisa didialogkan lagi agar
menjadi sinergis memahaminya dan dinamis memahaminya sebab cara terbaik
membangun pemahaman dengan adanya dialog pengetahuan, itu juga cara Nur Khalis
Madjid ingin membangun peradaban lewat dialog. Kebenaran, kebaikan harus
mengantarkan pada nilai mamfaat. Kadang saya mendengar guru saya menyentil
teori Pytagoras yang memang diakuinya benar, baik namun tidak ada gunanya dan
mamfaatnya. Pemahamannya, teori Pytagoras tentang rumusnya memang teruji namun
apa gunanya pada kita secara implimentatif sehingga pemahaman tak berguna meski
benar sulit membuat kita semamin sadar. Mungkin disinilah spiritnya bahwa
seseorang akan menjadi lebih merasakan sesuatu itu berharga jika dia membawa
mamfaat secra implementasi atau terasa secara personal.
Kita bicara demokrasi yang dianggap baik, benar namun
jika ternyata faktanya hanya membuka seluruh data-data bangsa sehingga asing
bebas mengeksploitasi informasi tersebut untuk dipergunakan mengintervensi
penegakan hukum dan pembuatan kebijakan oleh orang yang disandera karena kasus
tertentu. Kita berbicara
transparansi minimal untuk mengubur korupsi tidak lagi jalan dan menguasai
birokrasi, caranya membuka bukti realisasi anggaran sehingga nampak dimana
potensi korupsi demi menghindari penyimpangan secara langsung maupun
terselubung, tapi saat data itu digunakan untuk menekan dan menguasai kita oleh
pihak asing, disinilah letaknya idealisme yang akan membuat kita menjadi
dilematis. Kita akhirnya perlu kembali berfikir kebaikannya sebuah hal yang
diperjuangkan, ternyata kebaikan mengantar pada 2 hal, 1. menjadi senjata lawan
untuk melumpuhkan kita sendiri, disini kita perlu melakukan refleksi dan
penataan ulang, 2 lagi untuk memperbaiki diri dan bangsa, tentu akan sangat
baik jika dilanjutkan sebab membawa nilai positif.
Kadang
kebaikan di abaikan oleh orang baik karena pandangan dan pengetahuan setiap
orang-masing ada bentuknya dan setiap bentuk pengetahuan merupakan bentukan
kultural. Jika ada orangb baik mengutuk kebaikan maka orang baik yang
membawanya juga ikut mengutuk orang yang mengutuk tersebut. Jika yang membawa
kebaikan itu orang dilema maka akan ikut mengutuknya sampai akhirnya kebaikan
itu berada di tong sampah tak berdaya lagi.
Setiap
orang punya latar belakang kehidupan, punya budaya, punya orang tua, punya
guru, punya banyak teman dan setiap hal tersebut sangat mempengaruhi subjek.
Manusia akhirnya dalam nalar logis ‘post tradisionalisme’, logika
‘kulturalisme’ megambil kesimpulan, tak ada manusia yang mandiri, tak ada
manusia yang bebas dari budayanya, tak ada manusia yang tak berkepentingan
sehingga kebenaran, kebaikan dan nilai mamfaat sesuatu akan bersesuaian jika
memiliki dasar kesamaan kultural. Pandangan tersebut telah mematahkan logika
objektivisme dan normalisasi manusia dari intervensi sebab segala sesuatunya
ada intervensinya. Maka yang jadi korban, kebanaran menjadi digugat,
dipertanyakan kembali sampai akhirnya melahirkan dialektika baru.
Kemudian orang yang menilai sebuah kebaikan, kebanaran
dan nilai mamfaat juga sangat dipengaruhi oleh kemampuannya mengeksplorasi
fakta melalui logikanya, kemampuan empiriknya termasuk renungannya yang
melibatkan hati. Nah, jika
ternyata dia bukan seorang peneliti menilai sebuah konsep penelitian akan
terjadi balance, penilaiannya menjadi tidak berguna, tidak bermamfaat karena
spesifikasinya kontradiktif. Bukan berarti dia tidak berhak, sebab konsep hak
asasi manusia dan demokrasi telah menempatkan semua manusia menjadi berhak
menilai atas sebuah kenyataan baik atau buruknya. Tapi, perlu diingat apakah
demokrasi sudah mewakili semua logika kebanaran, apakah konsep hak asasi
manusia sudah bersesuaian pada kebanaran hakiki kemanusian.
Kadang sesuatu yang tidak ada kaitannya dikait-kaitkan
karena alasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), kadanga juga sesuatu yang
harusnya dikaitkan tapi tidak diakaitkan juga karena alasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) seakan logika Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi telah
menjadi tersandera oleh nalar bebas manusia. Saya bukan mau menggugat demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebab itu bukan porsi
saya, hanya memberikan sebuah rumusan atas sebuah pandangan manusia tentang
kebenaran yang bisa diplesetkan atau dipandang hina hanya karena kebodohannya
saja.
Jika
orang baik saja bisa mengabaikan kebaikan apalagi orang jahat, tentu lebih lagi
tetapi kadang karena apa orang jahat justru mendukung kebaikan anda. Jika orang
baik menolak kebenaran dan kebaikan otomatis orang jahat juga demikian, tapi
logika kita kadang terbalik jika menggunakan nalar dialektis sebab ada kalanya
orang yang kita pandang jahat menjankan kebaikan dan menghargai sebuah kebaikan
dibanding orang yang baik dalam kasat mata kita. Semua tergantung orangnya
juga.
Kenapa orang baik bisa mengabaikan
kebaikan karena soal kebodohan sesuai penjelasan tadi atau latar budayanya yang
kontras. Sementara orang yang kita pandang jahat justru menerima kebaikan dan
kebenaran itu jauh lebih pasih dari orang baik alasannya faktor kebetulan dan
pengetahuan. Faktor kebetulan ini mungkin karena dia lagi ada masalah maka dia
kaitkan dirinya dengan kebaikan agar mendapat simpati publik, mungkin ini cocok
dengan penalaran politisi yang kadang ada yang ingin membuat kebaikan dan
kebenaran untuk melegitimasi supaya di pandang benar. Faktor Pengetahuan itu
juga penting, orang yang jahat bisa lebih mulia dari orang baik karena ilmunya.
Nabi sendiri menggariskan bahwa orang yang tidur tapi berilmu bisa lebih baik
dari orang shalat karena kebodohannya. Disini kita bisa melegitimasinya dalam
persfektif teologis, tapi bisa jadi maksud nabi Muhammad SAW, adalah orang yang
tidur tadi juga sekaligus orang baik.
C. Filsafat Seni dan Keindahan
1.
Seni
dan keindahan
Perasaan
dan intuisi merupakan alat bagi seni dalam menemukan kebenaran yang paling
mendasar, universal dan abadi. Dasarnya adalah pengalaman indrawi manusia yang
bersifat subjektif, kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya
dapat dihayati dan dirasakan, dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu
kebenaran yang tak kuasa dijelaskan. Kualitas perasaan tersebut harus dialami
sendiri oleh manusianya sehingga ia mampu menemukan kebenarannya. Oleh sebab
itu Jakob Sumardjo menganggap bahwa seni erat kaitannya dengan agama dalam hal
kebenaran, sebab kehadiran sesuatu yang transendental (bukan dari dunia ini
yang dipercayai) dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari,
seni music, seni teater, seni sastra, dan seni rupa erat kaitannya dengan
manusia purba yang sering melakukan upacara-upacara kepercayaan yang
menghadirkan dunia gaib melalui peristiwa kesenian. Hal tersebut terjadi karena
seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata.
Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi. Dengan
demikian, kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran
ide. Dasarnya adalah pengalaman empiris manusia, tetapi yang ditemukannya
adalah realitas baru yang non-empiris.
2.
Unsur-unsur
filsafat seni
Menurut Jakob Sumardjo (2000: 29), Filsafat seni yang
merupakan bagian dari estetika modern, tidak hanya mempersoalkan karya seni
atau benda seni (hasil atau produk), tetapi juga aktifitas manusia atas produk
tersebut, baik keterlibatannya dalam proses produksi maupun caranya
mengevaluasi dan menggunakan produk tersebut.
Ada
tiga pokok persoalan filsafat seni, yakni seniman atau kreator sebagai
penghasil seni, karya seni atau benda seni, dan penikmat seni atau apresiator.
Antara seniman dan public seni muncul konteks budaya seni, sedangkan dari
unsure benda seni muncul persoalan nilai seni dan pengalaman seni. Secara lebih
lengkap akan dijelaskan berikutnya.
a.
Seniman
Setiap
karya seni muncul dari seorang seniman, apakah karya seni itu berbobot, kurang
berbobot, atau seni kelas bawah pasti muncul dari seorang seniman. Beberapa
persoalan yang sering muncul terkait seniman dengan karyanya adalah kreatifitas
dan ekspresi. Apakah yang dimaksud kreatifitas? Apa pula yang dimaksud dengan
ekspresi? Dan apa bedanya dengan refresentasi? Bagaimana masalah gender dalam
berkesenian? Apa bedanya seniman dengan pengrajin, tukang, dan desainer?
Bagaimana pribadi seniman tampak dalam karyanya yang menimbulkan beragam gaya,
dan aliran dalam seni?. Seniman
menekankan pada aspek ekspresi, kreasi, orisinalitas, intuisi, imajinasi, ide,
konsep, keterampilan dan referensi.
b.
Karya
Seni/Benda Seni
Karya
seni adalah hasil proses kreasi seniman berwujud visual dua dimensi maupun tiga
dimensi (Seni rupa, patung, lukis, desain, arsitektur), wujud audio (music dan
sastra), audio visual (Film, teater, seni tari) yang dapat dinikmati atau
diapresiasi melalui berbagai indra yang dimiliki oleh manusia. Benda seni atau
karya seni terkait erat dengan medium atau bahan yang digunakan dalam
menciptakan karya seni tersebut. Beberapa pertanyaan yang biasa muncul terkait
karya atau benda seni adalah apakah akrya seni merupakan peniruan kenyataan
(istilah Plato mimesis) atau merupakan ekspresi jiwa seniman. Persoalan
subjektifitas dalam seni (ekspresi) dan objektifitas (mimesis) berlangsung di
lingkungan penciptaan (seniman). Persoalan lainnya adalah seni tinggi dan seni
rendah, seni eksklusif dan seni pinggiran, istilah Sanento Yuliman “seni rupa
bawah dan seni rupa atas”
Karya
seni atau benda seni menekankan pentingnya aspek bentuk, material, struktur,
symbol, dan estetika.
c.
Publik
Seni/Apresioator
Publik
seni adalah masyarakat luas yang berasal dari latar belakang social dan ekonomi
berbeda. Publik seni penting sebab seni bukan hanya masalah seniman dan karya
seninya, melainkan bagaimana karya seni dapat berkomunikasi atau berdialog
dengan orang lain. Agar karya seni dapat berdialog secara baik dengan
masyarakatnya, maka diperlukan seorang curator atau kritikus yang menjelaskan
secara lebih obyektif tentang struktur estetika dan makna sebuah karya seni.
Seorang
seniman disebut seniman oleh masyarakatnya sebab status yang diperjuangkannya.
Walaupun tidak seluruh masyarakat dapat diklaim sebagai public seni, namun
sebagian besar masyarakat yang pernah dan berkeinginan menikmati karya seni
dapat menjadi bagian dari publik seni. Publik
seni tertentu seperti kolektor dan para konsumen seni sangat berperan dalam
menentukan status dan kelas dari seorang seniman.
3.
Pengertian
Filsafat dan Seni
Clive Bell, seorang filsuf seni klasik modern, seni
adalah significant form (bentuk bermakna), menurutnya, semua system estetik
dimulai dari pengalaman pribadi subjek tentang terjadinya emosi yang khas,
ketika sesoorang melihat karya seni (seni lukis), dalam dirinya akan timbul
suatu perasaan atau emosi yang khas, yang tidak sama dengan dengan perasaan
sehari-hari kita seperti marah, sedih, gembira, mulia, dan lain-lain. Perasaan khas tersebut disebut emosi estetik yang muncul dari
penangkapan atas struktur estetika karya seni. Leo
Tolstoi (1828-1910) Sastrawan Rusia terkemuka.
Menurut
Prof. Dr. Sudjoko, dalam bahasa jawa dikenal kata kagunan atau pakaryan yang menunjuk
pada kata seni.
Kamus Belanda-Melayu susunan
Klinkert, seni alias kunst mempunyai pengertian khidmat, ilmu, pengetahuan,
kepandaian, dan ketukangan.
4. Seni sebagai ekspresi
Sering
kita mendengar istilah seni sebagai media ekspresi, apa yang dimaksud dengan
ekspresi ? serta bagaimana seorang seniman mengekspresikan perasaannya dalam
karya seni?. Ekspresi adalah sesuatu yang dikeluarkan, seperti cairan gula yang
dikeluarkan oleh tebu yang diperas, tindakan mengamuk yang dilakukan sesoorang
yang ditekan perasaan marah, atau sikap memeluk dan membelai yang dikeluarkan
oleh dua insan yang dilanda gejolak cinta.
Dalam
seni, perasaan harus dikuasai terlebih dahulu sebelum diekspresikan dalam wujud
karya. Perasaan harus dijadikan objek, diatur, dikelola, dan diendapkan sebelum
diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk karya seni.
Darimana
sumber perasaan yang diekspresikan muncul? Perasaan merupakan respon individu
terhadap sesuatu diluar dirinya, yakni lingkungan sekitarnya, persaan juga
bersumber dari gagasan dan ide individu seorang seniman. Untuk mengekspresikan
perasaan tersebut diperlukan keterampilan seniman dalam mengolah media untuk
mewujudkan ekspresi tersebut secara lebih sempurna, semakin tinggi keterampilan
seniman maka semakin sempurna pula kualitas perasaan yang diekspresikan
tersebut, dan semakin tinggi kualitas ekspresi perasaan akan menjadikan bobot
karya seni yang dihasilkan juga semakin tinggi. Karya
seni lahir karena ada seniman yang menghadirkan karya tersebut.
Menurut Jacob Sumardjo (2000:79), Karya seni
adalah kerja yang serius, sama seriusnya dengan ilmuwan mencari kenyataan baru
dari gejala alam. Perlu ada kerja
keras, pengamatan data, butuh ketajaman intuisi dalam melihat kebenaran dibalik
permukaan, perlu penguasaan tekni seni yang tinggi dan cerdas, agar dapat
menghasilkan karya seni yang yang berkualitas, baik mimesis maupun imajinatif
idealis. Cara memandang dunia boleh berbeda, cara mencari kebenaran boleh
berbeda, tetapi tetap dituntut adanya karya yang memberikan sumbangan terhadap
peningkatan kualitas hidup manusia.
5.
Seni
sebagai benda
Dalam
seni rupa, penggolongan seni secara umum dibagi dua, seni murni (pure art/fine
art) dan seni pakai (apllied Art). Pure Art atau seni murni adalah seni yang
diciptakan semata-mata untuk dinikmati estetika dan keindahannya, misalnya
lukisan, patung, seni grafis, seni pahat, seni music, seni balet dan beragam
seni lainnya yang dibuat tanpa adanya unsure fungsional yang langsung
berhubungan dengan fisik manusia. Jenis seni seperti ini pada saman yunani
romawi digolongkan sebagai seni halus atau istilah Sanento Yuliman sebagai seni
rupa atas. Menurut Jakob Sumardjo seni semacam ini digolongkan sebagai seni
besar (major art) sebab dianggap sebagai seni bagi kaum yang merdeka. Para
pencipta dari jenis seni inilah yang diklaim sebagai seniman.
Sedangkan
applied art atau seni pakai adalah seni yang diciptakan dengan tujuan agar
memiliki fungsi secara langsung bagi kehidupan manusia, disamping itu juga
memiliki estetika sebagai penunjang. Sebagian karya Applied art kemudian
berkembang dengan istilah desain, dimana tuntutan kebutuhan masyarakat atas
jenis seni ini yang semakin tinggi sehingga aspek komersialisasinya dapat
memberi jaminan kesejahteraan yang lebih baik bagi para kreatornya atau
desainernya. Karya-karya seni applied art seperti mebel, tapestry, batik,
busana, kerajinan souvenir, keramik, kriya, desain interior, desain produk,
desain grafis, dan aneka desain lainnya. Para creator atau pencipta seni ini
lebih sering disebut sebagai tukang, pengrajin, atau desainer.
Estetika
adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang
membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa
merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi
yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian
terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan
filosofi seni.
Estetika berasal dari bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Kali
pertama digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk
pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.
Pada masa kini
estetika bisa berarti tiga hal, yaitu:
1.
Studi
mengenai fenomena estetis
2.
Studi
mengenai fenomena persepsi
3.
Studi
mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis
6.
Penilaian
Keindahan
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai
dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam
masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti
kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti
kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de
Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang
dan kemampuan mengabstraksi benda.
7.
Konsep
The Beauty and The Ugly
Perkembangan
lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan
tertentu. Hal ini berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang
dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam
penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui
banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang
sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak
biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata
memperlihatkan keindahan.
8.
Sejarah
Penilaian Keindahan
Keindahan
seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan
keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang
menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara
Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan
keberadaan. keindahan
seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek jasmani dan aspek rohani
BAB
III
KESIMPULAN
Bahwa
kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan
validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam
penghayatan atas sesuatu itu.
Bahwa
kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang
sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita,
perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa
kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula
yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa
penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan
pemahaman potensi subjek (mental,r asio, intelektual).
Bahwa
substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang
menjangkaunya.
Semua teori kebenaran itu
ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing
mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
DAFTAR RUJUKAN
Syam, Muhammad
Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K.
1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya.
1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan