Obyek filsafat ilmu dibedakan atas obyek material dan obyek formal. Yang dimaksudkan dengan obyek material filsafat ilmu ialah sesuatu atau obyek yang diselidiki, dipelajari, dan diamati. Atau segala sesuatu yang ada, yang meliputi: ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan pembicaraan atau penelitian. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.
Sedangkan obyek formal filsafat ilmu ialah sudut pandang dalam
penyelidikan atau pengamatan. Atau hakikat dari segala sesuatu yang ada. Obyek
formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian
khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan.
Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah
sistem filsafat.
Yang membedakan antara objek formal dan objek material ialah objek
formal, tidak terbatas pada apa yang mampu di inderawi saja, melainkan seluruh
hakikat sesuatu, baik yang nyata maupun yg abstrak. Sedangkan objek materialnya
ialah yang memungkinkan diambilnya pengetahuan yang benar dengan cara/teknik
atau sarana yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan yang benar itu.
Sebuah ilmu dibedakan dari ilmu lain karena obyek formalnya. Dengan
perkataan lain, dari sudut obyek material, beberapa ilmu mempunyai kesamaan,
tapi berdasarkan obyek formal, ilmu-ilmu itu berbeda. Untuk lebih jelasnya akan
diuraikan berikut ini.
1.
Objek
material filsafat ilmu adalah ilmu Obyek material Filsafat Ilmu ialah
pengetahuan ilmiah atau ilmu. Obyek material filsafat ilmu sama dengan obyek
material beberapa ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi ilmu, atau
sosiologi ilmu. Semuanya mempelajari ilmu-ilmu. Misalnya, psikologi ilmu adalah
cabang psikologi yang memberikan penjelasan tentang proses-proses psikologis
yang menunjang ilmu. Hasil penelitian bidang ini dapat merumuskan pentingnya
faktor psikologis pada kreativitas proses penyusunan hipotesis ilmiah. Demikian
juga unsur psikologis dalam persepsi, khususnya persepsi pada observasi ilmiah.
2.
Objek
formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Obyek formal Filsafat Ilmu ialah asal
usul, struktur, metode, dan validitas ilmu. Dalam kaitan dengan ini, C.A. van
Peursen menyebutkan adanya dua kecenderungan dalam filsafat ilmu, yakni
tendensi metafisik dan metodologik. Pada tendensi metafisik, filsafat ilmu
misalnya bertanya apakah ruang yang digunakan ilmu ukur itu merupakan suatu
yang sungguh-sungguh ada sebagai ruang mutlak atau hanya skematisasi yang
dipaksakan pada gejala-gejala oleh pengamatan manusia? Filsafat ilmu juga mempertanyakan
bagaimana peranan hukum sebab-akibat dalam realitas alam. Juga diselidiki
misalnya: bagaimana sifat pengetahuan yang mendasari ilmu? Apakah gejala
historis dapat ditampilkan dalam suatu ilmu berdasarkan alsan-alasan obyektif?
Menyangkut tendensi metodologik, filsafat ilmu memusatkan perhatian pada data
relevan dan konstruksi argumentasi yang sahih.
Filsafat agama bukanlah cabang teologi. Oleh karena itu, filsafat
agama bukan merupakan pembelaan filsafati terhadap dogma, ajaran teologi
tertentu, dan keyakinan religious. Filsafat agama adalah cabang filsafat yang
baru muncul sekitar abad ke-18.
Agama sebagai objek kajian filsafat
Agama adalah suatu system kepercayaan kepada tuhan yang dianut oleh
sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-nya. Pokok
persoalan yang dibahas dalam agama adalah interaksi tuhan, manusia dan hubungan
manusia dengan tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-nya merupakan aspek
metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk. Dengan demikian, filsafat membahas
agama dari segi metafisika dan fisika.
Ditinjau dari segi objek material filsafat agama objeknya
berdimensi metafisik dan fisik. Sedangkan di tinjau dari objek formalnya adalah
sudut pandang yang menyeluruh, rasional, objektif, bebas, dan radikal tentang
pokok-pokok agama. Karena itu pembahasan filsafat agama perlu di tekankan pada
segi obyektivitas, kendati tidak di nafikan sama sekali masuknya unsure
subjektivitas tadi. Namun, dari pembahasan dasar agama yang besifat umum di
usahakan seobjektif mungkin.
Berfikir secara bebas dalam membahas dasar-dasar agama data
mengambil dua bentuk, yaitu :
a.
Membahas
dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran
dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama :
b.
Membahas
dasar-dasa agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan
kebenaran ajaran-ajaran agama, atau
sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak
bertentangan dengan logika. Dalam pembahasan semacam ini seseorang masih
terikat pada ajaran agama.
Dengan demikian, bias dikatakan bahwa filsafat agama pada
hakikatnya adalah pembahasan yang mendalam tentang ajaran dasar agama.
A. Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa
penemuan konsep tentang sesuatu ber-awal dari pengetahuan tentang
satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan
ber-dasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri ter-tentu dan sebagainya.
Berdasarkan penemuan yang telah
diverivi-kasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan
diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala
sesuatu secara mendalam.Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak
semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga
pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan
"lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih dahulu. Jika
orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu.
Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang
yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami
pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali
memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan
definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat
pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada
masa itu yang menama-kan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang
ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras
mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata
filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata
philein dan sophia. Menurut Harun Nasution
kedua kata tersebut setelah digabungkan menjadiphilosophia dan
diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau
kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani
philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan su-sunan
kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian kata benda
dari falsafa itu adalah falsafah atau
filsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang mema-hami antara hikmah
dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun
Hadiwijono mengartikan kata philosophiadengan mencintai kebijaksa-naan,
sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah. Kebijaksanaan biasanya
diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan
terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan.
Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu
peristiwa yang dahsyat atau berat. Namun dalam konteks filsafat kata
philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bah-wa filsafat
berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan
pemahaman yang cu-kup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman
yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai
pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan
pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak
orang mem-berikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu
kebijaksanaan dengan memperoleh keahalian tentang kebijaksanaan itu. Plato
mengatakan filsafat ada-lah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan
penge-tahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah
ilmu tentang kebenaran. Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah
pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris
mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil
dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan. R.
Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami oleh
rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.
Alfred Ayer mengatakan filsafat adalah pencarian akan jawaban atas
sejumlah pertanyaan yang sudah semen-jak zaman Yunani dalam hal-hal pokok.
Pertanyaan-perta-nyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana
mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hu-bungannya satu sama lain.
Selanjutnya mempermasalah-kan apa-apa yang dapat diterima, mencari
ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan
selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.
Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan
filsafat adalah pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang
tercakup di dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui,
Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai
di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama. Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.
Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa
filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manu-sia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal
pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.
Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka. Titus mem-berikan difinisi bahwa
filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa
prasangka. Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat
sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam
semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah
sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam
semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam
semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan.
Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka,
toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua adalah suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian
yang beralasan. Ini bukalah metode fil-safat yang eksklusif, tetapi merupakan
metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh
pengalaman.
Ketiga filsafat adalah kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai
sekarang banyak masalah yang sangat men-dasar yang masih tetap tidak
terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya.
Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara
benar dan salah. ?
Keempat filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem
pemikiran. Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka
ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang
biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Sokrates, Plato,
Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat ber-pengaruh bagi pemikiran di masa
sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme,
pragmatis-me dan sebagainya.
Kattsoff mengemukakan
filsafat, ialah ilmu penge-tahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi
mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas
yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu
pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban
alam. Selain itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu
dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman
hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan
pengalaman-pengalam-an serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita
lebih berhasil menanganinya.
Selain itu Liang Gie mengemukan
metode yang ber-beda dalam pembahasan ini. Penulis itu meninjau filsafat
dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu terdiri atas
beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau
memperolok-olokan filsafat maupun filosof karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah
hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga
tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang
kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian
yang diberikan oleh dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan
tinggi filsafat dengan memperoleh gelar dok-torandus atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu sarjana yang mem-berikan kuliah
dalam mata kuliah filsafat atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu seorang pemikir da-lam bidang
filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang
yang senantiasa memahami persoalan-persoalan filsafat dan terus menerus
melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari
waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan
itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti latar belakang sosial,
politik, ekonomi dan seba-gainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu
adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai
spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan
selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti filsafat politik, filsafat
akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi
walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum
menjadi berbagai bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu
tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan
bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan
dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat
agama.
B. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak
dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam
kehidupan manusia. Ter-nyata agama
memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu,
selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan
religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus”
dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari
bahasa Latinrele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang
merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul
dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari
religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat
mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum
dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere
asal kata relgi mengandung makna
berhati-hati hati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat
norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai
anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi
juga sekalian tabu. Yang kudus dipercayai
mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang
berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang
terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang
berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi
tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau
dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut
religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara
manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan
Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan
atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada
penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus.
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang
Kudus yang dihayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan
pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia
secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam
hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk
benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam al-Quran
terdapat kata din yang
menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, yadan nun
diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada
me-nunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain
diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam
tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih
tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak
pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga
diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Katadin dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia
tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat
sebagai milik Tuhan karena pada waktu
itu dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman
merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada
hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama
sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang
berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang. Dalam
diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya
dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali
terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban
melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti undang-undang atau
hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan dan
semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu
terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah
manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengerti-an agama secara
etimologi. Namun banyak pula di antara
pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga
diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan
kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat
umum ada orang yang mengatakan bahwa
agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini. Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama
ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia
dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan
doktrin tertentu. Karena dalam definisi yang dikemuka-kan di atas terlihat
kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba
mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang
direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan
al-Quran dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari
pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diredai Allah ialah
sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk
dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berba-gai aspek kehidupan,
termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah
untuk manusia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat
dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan
kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi
agama yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang sesuai
dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu ber-muara kepada
satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai
pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari
sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk agama, yaitu:
1.
Pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi.
2.
Pengakuan
terhadap adanya kekuatan gaib yang me-nguasai manusia.
3.
Mengikatkan
diri kepada suatu bentuk hidup yang me-ngandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia
dan yang mempengaruhi
perbu-atan-perbuatan manusia.
4.
Kepercayaan
kepada sesuatu ikatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
5.
Suatu
sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6.
Pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan
gaib.
7.
Pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.
Ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Definisi yang dikemukakan Harun Nasution dapat disederhanakan
menjadi dua definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa agama
berkaitan dengan keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang lebih ting-gi
dari manusia yang mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang berkekuatan
gaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai kekuasaan luar biasa
melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang dipercayai itu adalah
benda mati seperti berhala dalam zaman Jahiliah. Adapun definisi nomor 8
terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi. Jika
disimpulkan, definisi-definisi agama itu menunjuk kepada kuatan gaib yang ditakuti,
disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena sikap pemarah dari
yang gaib itu.
Dari delapan difinisi di atas dapat diklasifikasikan bahwa terdapat
empat hal penting dalam setiap agama, yaitu :
Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat
pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu, manusia
merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan
baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib
itu.
Kedua keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan
hidup akhirat tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan kekuatan gaib itu.
Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan, yang dicari
akan hilang pula.
Ketiga respon yang bersifat emosionil dari manusia. Res-pon itu
bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau
perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya
respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di dalam agama primitif, atau
pemujkaan yang terdapat dalam agama menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu
mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam bentuk
kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama itu dan
dalam bentuk tempat-tempat tertentu. Setelah diketahui pengertian masing-masing
dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya pengertian filsafat
agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa filsafat agama adalah berfikir tentang
dasar-dasar agama menurut logika yang bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu:
Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa
terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu
agama. Kedua membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan
maksud untuk menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau sekurang-kurangnya
untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak bertentangan
dengan logika. Dasar-dasar agama yang dibahas antara lain pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia,
keabadian hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup
sesudah mati dan lain-lain. Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah
berfikir secara kritis dan analitis menurut aturan logika tentang agama secara mendalam sampai kepada setiap
dasar-dasar agama itu..
C. Filsafat dan Agama
Agama dan
filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan
kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah
agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama
sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang
pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti
perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang
abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin
ini. Filasafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai hasil dari
berfikir secara radikal, sistematis dan universal. Dasar-dasar agama yang
dipersoalkan dipikirkan menurut logika (teratur dan disiplin) dan bebas.
Ada beberapa
permasalah dalam filsafat dan agama, baik dari segi hubungan atau persamaannya
(titik temu), juga dari segi perbedaannya.
1.
Hubungan
dan perbedaan Filsafat dengan Agama
Abu Hayyan
Tauhidi, dalam kitab al-ImtΓ’' wa al-MuΓ’nasah, berkata, "Filsafat dan
syariat senantiasa bersama, sebagaimana
syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis". Ahmad
bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di
desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami Filsafat
dan ilmu Kalam (teologi). Di samping ia berusaha memadukan syariat dan
filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda lalu ditulis dalam kitabnya yang
dinamai SyarΓ’yi' al-AdyΓ’n dan beberapa kitab lainnya.
Menurut Prof.
Nasroen, S.H, ia mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan
kepada agama. Malahan filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama. Apabila
filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-mata
berdasarkan akal dan pemikiran saja, maka filsafat tidak akan memuat kebenaran
obyektif , karena yang memberikan pandangan dan keputusan hanyalah akal
pikiran. Sedangkan kesanggupan akal pikiran ituterbatas, sehingga filsafat yang
hanya berdasarkan kepada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberikan
kepuasan bagi manusia, terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang gaib.
Sebagian pemikir
yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat terdapat
perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan
agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti
dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini
kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan
hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat manusia dapat mengartikan
dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Di samping itu,
masih banyak tema-tema mendasar berkisar tentang hukum-hukum eksistensi di alam
yang masih membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam, dan semua ini yang
hanya dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat. Jika agama membincangkan
tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala
maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan
agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan
pengkajian filsafat.
Dengan demikian,
filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak
keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan
pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin
suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi
kita terhadap kebenaran ajaran agama. Walaupun hasil-hasil penelitian rasional
filsafat tidak bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian
penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam
bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan
terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan
observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama
itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Antara kebenaran
ilmu dan filsafat bersifat nisbi (relatif) karena ilmu pengetahuan terbatas
pada objek, subjek dan metodologinya. Dan filsafat bersifat spekulatif yang
juga tergantung pada dugaan para filsuf masing-masing tetapi tidak semua
permasalahan bisa dijawab oleh agama.
Abul Hasan 'Amiri, salah seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang
filosof terkenal yang juga berupaya membangun keharmonisan antara agama dan
filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran
dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan.
Abul Hasan 'Amiri menyatakan, "Akal
mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya,
tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian
dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal
juga mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber
kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah
satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak
untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara esensial
berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara
substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa
pesan-pesan Tuhan." Dapat disimpulkan bahwa hubungan filsafat dan agama,
mencakup :
•
Filsafat
menjelaskan makna wahyu Tuhan sampai mendekati makna yang sesungguhnya.
•
Mensistematisasikan,
membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu.
•
filsafat
dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru.
•
Adapun
perbedaan antara filsafat dan agama antara lain :
•
penyelidikan
agama dengan filsafat di dasarkan atas wahyu Allah, sedangkan filsafat kepada
hasil pemikiran.
•
Kebenaran
agama tergantung kepada kebenaran kepercayaan atas wahyu yang bersifat absolut,
sedangkan filsafat kebenaran atas penyelidikan sendiri sebagai hasil pemikiran
belaka jadi bersifat relatif dan terbatas.
•
Agama
sebagai obyek pemikiran dikaji oleh filsafat, karena itu adalah filsafat agama,
dan dalam memahami ajaran agama akan lahir pemikiran tentang agama.
•
Agama memberikan pengetahuan yang lebih tinggi dari
filsafat, karena pengetahuan yang tak ttercapai oleh pemikiran biasa karena
demikian tingginya hal itu hanya dapat diketahui dengan wahyu.