BAB I
PENDAHULUAN
Kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philo yang berarti cinta, dan sophia yang berarti
kebijaksanaan. Maka secara sederhana jika dilihat dari arti asal katanya,
filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Akan tetapi, definisi secara etimologis
berupa cinta kebijaksanaan, belum cukup mewakili keluasan arti dari kata
filsafat. Dahulu, setiap pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan logos dan rasio manusia, secara umum dinamakan sebagai filsafat.
Sementara filsafat ilmu, merupakan
cabang dari filsafat yang bertugas ‘memfilsafatkan’ ilmu-ilmu (disiplin ilmu
pengetahuan tertentu). Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati akan
hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang
hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti
memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendinya yang
paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan
pengembangannya, keterjalinannya antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang
lainnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa melalui upaya filsafat ilmu, seseorang
dapat meninjau dasar dan kedalaman ilmu hingga ke hakekatnya.
Tujuan filsafat ilmu adalah
memberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cakrawala pengetahuan manusia.
Di samping itu filsafat ilmu juga
memperluas wawasan ilmiah sebagai kesiapan dalam menghadapi
perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung dengan begitu cepat,
spektakuler, mendasar, yang secara intensif menyentuh semua segi dan sendi
kehidupan dan secara intensif merombak budaya manusia (Wibisono, 2004)
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Studi
tentang filsafat politik lahir dari cabang ilmu filsafat praktis. Dengan
demikian, filsafat politik adalah studi tentang penilaian dan kritik moral
terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang
bertujuan untuk mengarahkan terciptanya susunan organisasi masyarakat yang baik
dan tepat. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan
bukan tujuan pribadi seseorang. Politik juga menyangkut kegiatan berbagai
kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu.
Unsur yang diperlukan sebagai konsep
pokok politik yang dipakai untuk meneropong unsur-unsur lainnya, yaitu :
- Negara
(suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi
yang sah dan ditaati oleh rakyatnya)
- Kekuasaan
(kemampuan seseorang / kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang /
kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku)
- Pengambilan
keputusan (keputusan adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif;
pengambilan keputusan adalah menunjuk pada proses yang terjadi sampai
keputusan itu terjadi)
- Kebijaksanaan
umum (kebijaksaan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh
seorang pelaku / kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut)
- Pembagian atau alokasi (pembagian dan penjatahan
dari nilai-nilai dalam masyarakat
Politik dan pendidikan saling
berkaitan. Salah satu peran pendidikan yaitu memasyarakatkan ideologi dan
nilai-nilai sosio-kultural bangsa kepada warga negara. Sedangkan politik, salah
satu unsurnya adalah pengambilan keputusan dan pendidikan tidak lepas dari
keputusan yang dibuat politik. Salah satu keputusan politik yang diambil di
dunia pendidikan adalah adanya Ujian Nasional dengan standar tertentu yang
telah ditetapkan terlebih dahulu.
Untuk menelaah gap/kesenjangan
antara ilmu politik dengan ilmu yang lainnya dalam hal ini adalah ilmu
pendidikan, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi
perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, bidang filsafatlah yang mampu mengatasi
hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (Wibisono S. dkk.,
1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.
Oleh sebab itu, Francis Bacon (The Liang Gie., 1999) menyebut filsafat sebagai
ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Filsafat politik dan ilmu politik
merupakan dua hal yang berbeda namun sama-sama membahas politik. Pada ilmu politik, untuk memahami
realitas yang ada dilakukan pendekatan deskriptif, sedangkan pada filsafat
politik, sebuah realitas dikaitkan dengan disiplin normatif. Disiplin normatif
maksudnya adalah disiplin yang merumuskan sesuatu secara ideal. Pembahasan
mengenai filsafat politik meliputi:
a. Filsafat
politik
b. Filsafat
pemerintahan
c. Filsafat
kepemimpinan
d. Filsafat
kemasyarakatan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
FISAFAT
POLITIK
Filsafat politik telah lahir sejak
manusia mulai menyadari bahwa tata sosial kehidupan bersama bukanlah sesuatu
yang terberi secara alamiah, melainkan sesuatu yang sangat mungkin terbuka
untuk perubahan. Oleh karena itu, tata politik merupakan produk budaya dan
memerlukan justifikasi filosofis untuk memepertahankannya. Filsafat politik
juga seringkali muncul sebagai tanggapan terhadap situasi krisis zamannya. Pada
era pertengahan, tema relasi antara negara dan agama menjadi tema utama
filsafat politik. Pada era modern, tema pertentangan antara kekuasaan absolut
dan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi menjadi tema utama refleksi
filsafat politik.
Menurut Plato, filsafat politik
adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia
dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk
mewujudkan konsep pemikiran. Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan
hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila
manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga
buruk, artinya negara adalah cerminan mansia yang menjadi warganya (J.H. Rapar,
2001).
Filsafat politik
memberikan penjelasan yang berdasarkan rasio dilihat adanya hubungan antara
sifat dan hakikat dari alam semesta (universe) dengan sifat dan hakikat
kehidupan politik di dunia fana ini. Pokok pikiran dari filsafat politik adalah
bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti metafisika dan
epistemologi harus dipecahkan lebih dahulu sebelum persoalan politik yang
sehari-hari dapat ditanggulangi. Contoh:
Keadilan
merupakan hakikat dari alam semesta sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai
kehidupan yang baik yang dicita-citakan oleh Plato. Filsafat politik erat
kaitannya dengan etika dan filsafat politik. Dalam pembahasan filsafat politik
dikaitkan dengan filsafat politik pendidikan.
Tinjauan filsafat ilmu mengenai
politik pendidikan adalah sebagai berikut:
1.
Dari Segi Ontologis
Dari
pembahasan ontologisnya, semua manusia sebagai mahluk individu pada dasarnya
mempunyai Hak Asasi Manusia (HAM) berupa: memperoleh pengetahuan, diakui status
sosialnya, diakui keberadaannya, dan berhak memperoleh kehidupan yang lebih
baik. Konsep HAM berlaku secara universal, bagi siapa saja dimana saja tanpa
terkecuali, mutlak dan bebas nilai. Tidak ada alasan apapun bagi siapapun untuk
menghalangi manusia memperoleh apa yang menjadi hak dasarnya.
2.
Dari Segi Epistemologis
Selanjutnya manusia sebagai warga negara berinteraksi dengan negara. Dalam
keterkaitan ini, pendidikan adalah salah satu alat penghubung interaksi
tersebut. Pendidikan merupakan salah satu sarana mewujudkan hak-hak dasar
manusia. Dengan pendidikan ini diharapkan manusia dapat mencapai apa yang
dicita-citakan seperti yang tertera sebelumnya, tanpa terkecuali. Namun sebagai
salah satu komponen yang mendukung tercapainya hak-hak dasar manusia,
pendidikan mendapatkan banyak pengaruh
(aksidensia) dari berbagai faktor. Pengaruh inilah yang pada akhirnya
membuahkan pendidikan dengan outcome yang baik dan pendidikan dengan outcome
yang buruk. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan, atau
sebaliknya, adalah faktor politik, hukum, sosial, budaya, ekonomi, dan berbagai
faktor lainnya. Salah satu faktor yang akan dibahas kaitannya terhadap
pendidikan adalah faktor politik.
Keterkaitan antara pendidikan dan
politik berimplikasi dalam hal filosofis maupun kebijakan. Filsafat pendidikan
di suatu negara sering kali merupakan refleksi prinsip ideologis yang diadopsi
oleh negara tersebut. Di Indonesia, filsafat pendidikan nasional adalah
pengejewantahan dari nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan dalam hal kebijakan, sangat sulit memisahkan antara
kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah di suatu negara dengan
persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut. Abernethy
dan Coombe (1965:287) dalam Sirozi menulis sebagai berikut:
a government’s education policy reflects, and
sometimes betrays, its view of society or political creed. The formulation of
policy, being a function of government, is essentially part of the political
process, as are the demands made on government by the public for its revision.
(kebijakan pendidikan suatu pemerintahan merefleksikan
dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik.
Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial merupakan
bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik terhadap
pemerintah untuk melakukan perubahan).
Disini tampak bahwa
tuntutan-tuntutan masyarakat akan suatu permasalahan ditangkap dan dirumuskan
melalui suatu kebijakan, dan implementasi dari suatu kebijakan pendidikan
berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikan para stakeholder
pendidikan, terutama orang tua dan peserta didik, dan masyarakat pada umumnya.
Namun kebijakan-kebijakan ini juga tentunya tidak terlepas dari pengaruh paham
politik tertentu yang biasanya dibawa oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
Jika menurut Harman (1974:9), politik dipahami sebagai ‘praktik kekuatan,
kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan
otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial’, maka pendidikan adalah sarana bisnis politik yang
sangat penting. Pemerintah dapat dengan mudah mengontrol setiap
kebijakan pendidikan yang dibuat dan memperhatikan dampak yang timbul, karena
ada kredibilitas pemerintah yang akan dipertaruhkan dimata publik.
Selain itu,
ada kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan keberlanjutan suatu sistem
politik sebagaimana dijelaskan oleh Easton (1957:311) bahwa pendidikan membantu
mengembangkan dan mentransmisi orientasi dasar politik tertentu yang dalam
variasi tertentu, harus dimiliki bersama oleh para anggota dari sistem yang
ada. Selanjutnya ia menambahkan bahwa salah satu kondisi fundamental untuk
mempertahankan suatu sistem politik adalah bahwa ketika generasi muda dalam
suatu masyarakat menginjak dewasa, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan,
nilai-nilai dan sikap-sikap sebagaimana diharapkan oleh anggota dari suatu
sistem yang ada. Bila organisasi diibaratkan sebagai suatu negara, maka
pendidikan menjadi motor bagi seluruh rakyat suatu negara untuk berproses
mencapai visi suatu negara, untuk dapat bekerja sama dalam suatu tatanan
negara, dan dengan pendidikan pula orientasi politik (ideologi) yang ingin
ditanamkan oleh pemerintah dapat terlaksana. Karena kuatnya kaitan antara
masalah pendidikan dan politik serta aspek-aspek publik lainnya, maka setiap
kebijakan pemerintah di bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan
pandangannya tentang masyarakat dan pandangan politiknya.
3.
Dari Segi Aksiologis
Adalah sulit memisahkan pendidikan,
politik dan peran keduanya yang saling terkait satu dengan yang lain karena
persoalan-persoalan kependidikan sulit dipahami dengan baik tanpa melihat
konteks politik dari persoalan tersebut. Begitu pula sebaliknya, berbagai
persoalan politik sulit dipahami tanpa melihat konteks kependidikan dari persoalan
tersebut. Sehingga diharapkan ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan wawasan
politik yang memadai untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan pendidikan
yang ada. Begitu pula para ilmuwan politik membutuhkan wawasan kependidikan
untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada
masyarakat.
B.
FILSAFAT
PEMERINTAHAN
Pemerintahan dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Sebagai sebuah ilmu yang multidimensional,
pemerintahan sebagaimana halnya politik juga masih menyimpan aneka
problema, terutama dalam upaya penentuan ontologis,
epistemologis dan aksiologis keilmuannya. Dari aspek ontologis ilmu pemerintahan, baik menyangkut definisi
maupun objek material dan formal, belum dijumpai adanya kesepahaman. Meskipun
demikian ada beberapa titik persamaan mendasar di kalangan
ilmuwan pemerintahan, yaitu: Pertama, bahwa ilmu
pemerintahan itu ada dan sedang berkembang ke arah kemandirian. Kedua,
adanya berbagai paradigma pemerintahan merupakan tanda bahwa ilmu pemerintahan
bersifat teoritik konseptual dan tidak semata-mata praktis profesional. Dengan
demikian, pemerintahan bukanlah semata-mata keterampilan belaka.
Realitas yang ada sampai saat ini
mengisyaratkan bahwa perkembangan ilmu pemerintahan di tanah air masih dalam
proses pemantapan posisinya di dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial. Tidak
seperti ilmu-ilmu sosial yang lebih dulu berkembang, seperti psikologi, ekonomi
dan sosiologi, pemerintahan masih butuh waktu panjang untuk bisa memantapkan
dirinya menjadi “normal science” dalam terminologi Thomas Kuhn.
Ilmu pemerintahan bisa dikategorikan sebagai suatu
disiplin yang bersifat general atau multidimensional. Kenyataan ini
menjadi sangat paralel dengan mainstream kajian budaya yang berkembang
pesat akhir-akhir ini. Kesamaan mainsteram ini terutama tampak dalam focus
of interest ilmu pemerintahan, yang setidak-tidaknya juga harus mencakup
dimensi-dimensi filsafat, hukum, politik, sosiologi, administrasi, sejarah, kebudayaan,
ekonomi, kepemimpinan dan tentu kajian budaya sendiri. Penjabaran ke dalam
dimensi-dimensi keilmuan yang merupakan inti dari kajian ilmu pemerintahan ke
dalam kurikulum pengajaran, akan menghasilkan subjek-subjek pokok yang
berkenaan dengan: Pengantar Ilmu Pemerintahan, Metodologi Ilmu Pemerintahan,
Filsafat Pemerintahan, Hukum Tata Pemerintahan, Politik Pemerintahan, Sosiologi
Pemerintahan, Administrasi Pemerintahan, Sejarah Pemerintahan, Budaya
Pemerintahan, Kepemimpinan dalam Pemerintahan dan Kajian budaya Pemerintahan.
Luasnya dimensi-dimensi yang tercakup
dalam disiplin ilmu ini akhirnya banyak menimbulkan masalah kefilsafatilmuan,
khususnya dalam upaya penentuan epistemologis dan aksiologisnya. Persoalan
pertama berkaitan dengan penentuan batas-batas ilmu pemerintahan (termasuk
fokus dan lokusnya). Sedangkan persoalan kedua lebih mengarah pada nilai guna
atau segi kemanfatan keilmuan.
Fungsi ilmu setidaknya ada tiga,
yaitu mendeskripsi, memprediksi serta mengatur gejala alam/ sosial. Supaya
ketiga fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan metode yang
tepat dan valid. Ada tiga metode keilmuan yang biasanya dipergunakan dalam
khasanah perkembangan ilmu penegtahuan, yaitu metode rasional, metode empirik
dan metode gabungan. Metode ilmu sangat bergantung pada objek material dan
formal dari ilmu yang bersangkutan. Objek
material ilmu pemerintahan adalah negara, sama seperti objek material ilmu
politik atau ilmu administrasi negara. Sedangkan objek formal ilmu pemerintahan sampai dengan saat ini masih menjadi
perbincangan.
Dalam laporan Temu Ilmiah Pengkajian
Ilmu Pemerintahan (1985) dikemukakan beberapa pandangan mengenai objek formal
ilmu pemerintahan. Soemendar Soerjosoedarmo berpendapat bahwa ilmu pemerintahan
adalah ilmu yang mempelajari kegiatan-kegiatan kenegaraan dalam rangka memenuhi
kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan Syafiie menyatakan bahwa
ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan
koordinasi dan kemampuan memimpin bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif
dalam hubungan pusat dan daerah antar lembaga serta antara yang memerintah
dengan yang diperintah. Namun, jauh sebelum itu, Mariun sudah menyatakan bahwa
pemerintahan menunjuk kepada kegiatan atau fungsi-fungsi negara. Pemerintahan
dalam arti luas menunjuk kepada segala kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan
menunjuk hanya kepada kegiatan eksekutif semata.
Dari penjelasan tersebut, terlihat
bahwa pemerintahan dalam arti luas
adalah keseluruhan kegiatan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pemerintahan dalam arti sempit hanya menunjuk kepada kegiatan eksekutif, dalam
hal ini kegiatan presiden dan para menterinya. Dari bagan itu juga dapat
dipahami bahwa sumber kegiatan presiden adalah program yang dibuat dalam
kampanye, atau dalam sistem terdahulu GBHN yang merupakan cerminan dari
aspirasi rakyat yang disampaikan melalui partai politik.
Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang
lain, sampai dengan dekade 1990-an, ilmu pemerintahan di Indonesia masih
mengalami krisis epistemologis dan
identitas. Namun begitu, sebagai satu solusi awal dari problema ini diajukan
konstatasi bahwa objek formal dari ilmu pemerintahan adalah pemerintahan suatu
negara. Pemerintahan hanya merupakan satu “field” atau bagian dari ilmu
politik, seperti halnya ilmu administrasi negara, hubungan internasional dan
yang lainnya.
Dari pemahaman posisi itu, sasaran
utama dan objek formal dari ilmu pemerintahan dengan sendirinya adalah
pemerintahan Indonesia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dalam studi
pemerintahan bisa dibahas masalah eksekutif, baik pada tingkat “presidency”
maupun pada tingkat lokal. Demikian juga bisa dikaji persoalan “legislatures”
terutama yang berkaitan dengan sejarah,kedudukan, fungsi serta peranan lembaga
tersebut. Pemahaman terhadap lembaga MA, MPR, TNI, masalah kepartaian dan
pemilu, perilaku politik, sosialisasi politik, politik pembuatan kebijakan,
analisis dan implementasi serta evaluasi kebijakan yang ditempuh. Jadi, ruang lingkup
ilmu pemerintahan adalah “hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam rangka
mencapai kesejahteraan bersama”.
Berkaitan dengan aksiologi atau nilai gunanya, ilmu
pemerintahan memiliki nilai guna/ fungsi ganda yakni fungsi akademik (penemuan
dan pengambangan keilmuan) dan fungsi non-akademik. Penerapan fungsi yang
pertama telah dimulai sejak akhir tahun 1940-an bersamaan dengan mulai
diterapkannya pola UGM dalam pengajaran ilmu sosial dan politik. Pola UGM
berbeda dengan pola UI. Pertama, studi hubungan internasional dislenggarakan
oleh satu jurusan yang dinamakan Jurusan Hubungan Internasional yang merupakan
salah satu dari enam jurusan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Pola UGM mempunyai jurusan Ilmu Pemerintahan yang sedikit berbeda dengan
sub-departemen Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pola UI. Perbedaannya
terletak pada kenyataan bahwa Jurusan Ilmu Pemerintahan juga menawarkan
beberapa mata kuliah yang erat kaitannya dengan Ilmu Administrasi. Beberapa
diantaranya adalah Teori Organisasi dan Manajemen Pemerintahan, Kebijakan
Pemerintah, Analisis Kebijakan Pemerintah. Mata kuliah-mata kuliah seperti itu
tidak ditawarkan oleh Departemen Ilmu Politik.
Apabila dalam dua dekade lalu,
kajian pemerintahan masih memahami negara sebagai “wilayah dengan batas
kedaulatan tertentu yang berhadapan dengan wilayah lain”, maka sekarang
pemahaman negara sebagai “satu entitas yang bisa memiliki kepentingan yang
berbeda-beda dengan warganya “ mulai mengedepan. Pergeseran pemahaman ini
bersamaan dengan munculnya kajian tentang daily politics, seperti governance,
interdependensi, trust, capacity building, deliberation bersandingan
dengan kosa kata klasik ilmu ini seperti “negara”, “pemilu”, “pemerintah”,
“otoritas”, “legitimasi”, “kedaulatan”, dan lain-lain Kemunculan kosa kata dan
kajian baru ini kemudian dilembagakan dalam studi-studi kontemporer yang
menjadi varian baru ilmu pemerintahan secara umum dan kajian demokrasi pada
khususnya.
Dalam proses perkembangan kajian
budaya politik dan pemerintahan yang pesat, filsafat ilmu dengan
komponen-komponen yang menjadi tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu
pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, akan dapat mengarahkan
pada strategi pengembangan kajian budaya politik dan pemerintahan seperti tersebut
di atas. Strategi tersebut tidak hanya menyangkut etik dan heuristik,
bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau
kemanfaatan kajian budaya politik/ pemerintahan, akan tetapi juga arti maknanya
bagi kehidupan umat manusia.
C. FILSAFAT KEPEMIMPINAN
Di dalam bahasa Jerman, kepemimpinan
diterjemahkan sebagai Führungspersönlichkeit. Secara harafiah, arti kata
ini adalah kepribadian yang memimpin. Bisa ditafsirkan, bahwa kepemimpinan
bukan hanya teknik atau tips, tetapi sebuah bentuk kepribadian. Kepemimpinan
perlu untuk menjadi revolusioner. Apa arti revolusioner?
Revolusioner berakar pada kata
Latin, revolutio, yang berarti berputar balik. Kata ini lalu berkembang
artinya menjadi perubahan politik dalam waktu singkat dan drastis. Tujuannya
membangun tata kelola politik dan ekonomi yang baru. menafsirkan ulang makna
revolusi secara baru, yakni sebagai suatu gaya kepemimpinan. Menyebutnya
kepemimpinan revolusioner.
Ide tentang kepemimpinan
revolusioner sudah selalu tertanam di dalam sejarah filsafat Barat yang usianya
sudah lebih dari 2300 tahun. Ide tentang kepemimpinan revolusioner bisa
membantu kita untuk memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan demokrasi di
Indonesia, terutama setelah Pemilu 2014 nanti.
1.
Kepemimpinan dan Sejarah Filsafat
a.
Plato dan Filsuf Raja
Filsafat sebagai suatu proses
memahami segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan juga memiliki
pemikiran-pemikiran penting tentang kepemimpinan. Ide tentang kepemimpinan
revolusioner juga tertanam di dalam bentangan sejarah pemikiran ini. Lebih dari
2000 tahun yang lalu, Plato, filsuf asal Yunani Kuno, merumuskan ide tentang
filsuf raja. Ia adalah pemimpin politik suatu masyarakat yang memiliki
pengetahuan filosofis yang mendalam, yakni pengetahuan tentang apa yang
esensial dan tak berubah (Ideen), dan pengetahuan yang labil serta tak
bisa dipercaya (Meinungen/Doxa).
Dengan pengetahuan ini, ia bisa
memimpin rakyatnya dengan baik. Ia bisa membedakan, urusan-urusan apa yang
mesti diselesaikan dengan segera, serta hal-hal apa yang bisa diabaikan, karena
tidak penting. Ini, pada hemat saya, adalah bagian penting dari kepemimpinan
revolusioner, yang berfokus pada perubahan besar dalam jangka waktu yang
singkat. Hal-hal penting yang harus segera diubah mesti segera dibuah,
sementara hal-hal lain bisa dibiarkan menunggu.
Pemimpin
politik di Indonesia jelas bukan seorang filsuf raja. Mereka sulit, atau
mungkin tak bisa, membedakan, antara pengetahuan yang esensial dan tak berubah
(Ideen) dan pengetahuan yang semu (Meinungen). Contoh paling
nyata adalah soal alat transportasi. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini
adalah alat transportasi publik yang nyaman, aman, dan efisien (Ideen).
Yang tidak kita butuhkan adalah mobil murah, walaupun itu, katanya, ramah
lingkungan (Meinungen).
b.
Aristoteles dan Aristokrasi
Plato punya seorang murid yang
brilian. Namanya adalah Aristoteles. Dalam arti ini, brilian berarti tidak
gampang setuju dan justru sangat kritis pada gurunya. Aristoteles menolak ide
tentang filsuf-raja yang begitu mudah terpelintir menjadi pemimpin totaliter.
Ia juga menolak demokrasi yang begitu mudah terpelintir menjadi pemerintahan
massa dan mayoritas.
Ia menawarkan satu ide, yakni
aristokrasi, yakni kepemimpinan oleh beberapa orang tercerahkan, yang merupakan
orang-orang terbaik di suatu masyarakat. Orang-orang ini memiliki keutamaan
hidup, dan, sama seperti filsuf-raja, ia bisa membedakan antara Ideen
dan Meinungen. Konsep penting di dalam aristokrasi adalah keutamaan (Tugend/Arete),
yang berarti sikap-sikap baik yang tampak nyata dalam hidup sehari-hari, dan
muncul dari kebiasaan hidup (Gewohnheit/Habitus).
Kepemimpinan revolusioner juga lahir
dari sikap hidup sehari-hari yang akhirnya membentuk keutamaan hidup. Ia bukan
sikap yang penuh emosi, tanpa perhitungan, melainkan sebaliknya, yakni lahir
dari kesabaran dan visi yang mendalam, yang berakar pada rutinitas hidup
sehari-hari. Kepemimpinan revolusioner juga bukanlah tindakan satu orang
semata, melainkan tindakan suatu kelompok. Ia lahir dan bertahan melalui
organisasi.
Sebagai organisasi, partai politik
sebenarnya punya kemungkinan besar untuk menerapkan model kepemimpinan
revolusioner. Ia adalah organisasi dengan dasar ideologi tertentu yang dibangun
melalui jaringan hidup sehari-hari. Sayangnya, organisasi ini di Indonesia
tidak memiliki keutamaan hidup yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin negara.
Namun, saya teringat pepatah Latin kuno: abussus non tollit usum, fakta
bahwa banyak partai politik itu korup tidak berarti, bahwa kita tidak lagi
membutuhkan partai politik.
c.
Kepemimpinan Cerdik ala Machiavelli
Di akhir abad pertengahan Eropa,
hiduplah seorang filsuf yang juga aktif ambil bagian dalam politik. Namanya
adalah Nicolo Machiavelli. Ada dua argumennya yang penting untuk teori tentang
kepemimpinan. Yang pertama adalah politik tanpa moralitas, yakni berusaha
mewujudkan tujuan-tujuan baik dari politik, walaupun dengan cara-cara yang
“kurang bermoral”. Yang kedua adalah pentingnya pencitraan di dalam politik
(lebih baik ditakuti daripada dicintai oleh rakyat).
Hal penting yang diajarkan oleh
Machiavelli dalam konteks kepemimpinan politik adalah kecerdikan. Cerdik
berarti orang tahu, kapan harus menggunakan kelembutan ataupun kekerasan di
dalam politik, guna mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kepemimpinan revolusioner
juga harus cerdik ala Machiavelli semacam ini. Ia juga perlu tahu, bagaimana
cara menjaga citranya di hadapan masyarakat luas.
Kepemimpinan
cerdik amat jarang ditemukan di Indonesia. Yang banyak justru adalah
kepemimpinan licik, yakni menggunakan segala cara untuk melakukan korupsi, guna
memperkaya diri sendiri, atau keluarga. Sejatinya, pemimpin politik tidak boleh
naif. Ia perlu tahu taktik dan intrik politik, guna memperjuangkan kepentingan
rakyatnya. Ini adalah salah satu bagian penting dari kepemimpinan revolusioner.
d.
Kant dan Kepemimpinan Rasional
Di akhir abad 18, Immanuel Kant,
filsuf asal Jerman, menulis buku dengan judul zum ewigen Frieden, yang
berarti menuju perdamaian abadi. Ide yang cukup penting dalam buku ini adalah
tentang kepemimpinan dunia yang di bangun atas dasar prinsip-prinsip rasional
yang digunakan secara publik (der öffentliche Gebrauch der Vernunft).
Dengan kata lain, kepemimpinan harus menggunakan pemikiran rasional di dalam
setiap pembuatan keputusan. Rasionalitas, atau akal budi, digunakan tidak hanya
untuk kepentingan pribadi semata, melainkan juga untuk menata masyarakat.
Kepemimpinan yang revolusioner juga
harus menggunakan akal budi. Dalam konteks ini, akal budi digunakan tidak hanya
untuk mengubah keadaan, tetapi juga untuk menata perubahan itu sendiri,
sehingga bisa menciptakan kebaikan bersama secara berkelanjutan (nachhaltig).
Kepemimpinan revolusioner yang berpijak pada akal budi juga berarti siap untuk
mempertanyakan tradisi-tradisi lama, yang dianggap suci, tetapi sebenarnya
tidak lagi pas dengan keadaan yang terus berubah. Dengan kata lain, akal budi
digunakan tidak hanya secara teknis, melainkan juga secara kritis.
Inilah yang
kita tidak ditemukan di Indonesia. Banyak kebijakan dibuat (mobil murah, dan
kurikulum pendidikan yang terus berubah) tidak berpijak pada pertimbangan akal
budi, tetapi hanya pada tradisi lama dan niat untuk korupsi. Akibatnya,
kebijakan tersebut justru menciptakan masalah baru, sementara masalah lama
belum selesai, bahkan makin membesar. Di Indonesia, akal budi justru amat
jarang digunakan, karena ditutupi oleh fanatisme agama dan nafsu untuk korupsi.
e.
Habermas dan Kepemimpinan Komunikatif
Manusia, pada dasarnya, adalah
jaringan dari berbagai aspek, mulai dari aspek biologis, sosial, sampai dengan
spiritual. Ketiga aspek ini saling berhubungan, lalu membentuk satu kesatuan
ontologis yang bernama: manusia. Komunikasi untuk membentuk jaringan ini juga,
pada hemat saya, adalah bagian yang amat penting dari kepemimpinan. Filsuf yang
mencoba merumuskan teori tentang komunikasi dari kaca mata filsafat adalah
Jürgen Habermas.
Habermas berpendapat, bahwa
masyarakat modern sekarang ini terdiri dari beragam kultur dan cara hidup.
Kemungkinan untuk konflik juga cukup besar. Untuk mencegah konflik, maka
komunikasi antar kelompok haruslah ditingkatkan. Dalam konteks ini, Habermas
mencoba merumuskan kondisi-kondisi yang memungkinkan komunikasi yang baik bisa
berlangsung.
Kepemimpinan revolusioner juga harus
memberi ruang bagi proses komunikasi, guna mencapai kesepakatan bagi semua
pihak. Proses komunikasi tidak hanya merupakan lobi politik, guna memperoleh
keuntungan-keuntungan tertentu, melainkan harus menyentuh persoalan-persoalan
nyata masyarakat. Tanpa komunikasi yang baik, kepemimpinan revolusioner tidak
akan mampu mewujudkan tujuan-tujuannya sendiri, yakni perubahan masyarakat.
D. FILSAFAT KEMASYARAKATAN
Filsafat kemasyarakatan adalah pemikiran mendalam dan penilaian
serta kritik moral terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial
kemasyarakatan. Kehadiran politik dalam masyarakat dapat dilihat dari
bermacam-macam sudut. Memandang dan memahami politik, tidak hanya dalam
batas-batas ilmu politik itu sendiri. Jika diamati dalam konteks yang luas,
politik itu tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan
manusia. Penempatan politik dalam konteks yang luas itu membawa kita kepada
pembicaraan tentang perilaku politik dalam hubungannya dengan lingkungan sosial
dan lebih khusus lagi masyarakat. Sesungguhnya dalam kehidupan berpolitik,
faktor dan campur tangan manusia tidak pernah berhenti berkelebat, baik sebagai
operator maupun sasarannya. Karena peranan manusia yang terus-menerus itu, kita
perlu lebih memastikan, bahwa manusialah aktor penting di belakang kehidupan
politik.
Oleh karena itu, kita
akan memahami masyarakat yang memiliki peran dalam mempertahankan eksistensi
politik. Bila demikian, peran yang dilakoni oleh setiap masyarakat tentu
berangkat dari premis yang sama, bahwa faktor kepentingan menjadi agenda
tindakan dan argumentasi kontes politik. Dibalik kepentingan tersimpan kehendak
tingkat kebutuhan masyarakat, baik itu secara personal maupun kelompok.
Sehingga pemenuhan kehendak akan membentuk peran berdasarkan temperatur tingkat
kepentingan masing-masing. Sulit untuk tidak percaya, bahwa masyarakat
sebenarnya dalam kesehariannya selalu berpolitik. Sehingga pergulatan antara
masyarakat dan politik tidak dapat dihindarkan, sisanya adalah ungkapan
kekecewaan terhadap espektasi politik. Dalam hal ini, perlu dipertegas tidak
setiap masyarakat mempunyai cara pandang yang sama terhadap politik, baik itu
politik secara normatif sampai cara bekerjanya politik di masyarakat. Semua itu
dipahami jika kontes politik telah menciptakan ekspresi kebebasan, dan
disitulah muncul sekat/jarak ideologis. Sebab cara berpolitik masyarakat akan
selalu memiliki karakter dan ciri khas tersendiri.
Bagi masyarakat Barat,
mungkin politik dianggap sebagai badly needed. Meski sering membuat
kebebasan individu terbelenggu, kehadirannya senantiasa diperlukan. Tanpa
politik, maka aturan-aturan kolektif sulit diperoleh. Sebagai zoon politicon,
kehadiran politik sungguh diperlukan. Tapi deferensiasi peran dan struktur
sudah tercipta sedemikian rupa, belenggu atau pengaruh politik dapat dikurangi
hingga batas yang paling minimal. Mungkin dalam setiap pemilu saja terjadi
fenomena politik secara massal. Itu pun tidak harus dilakukan oleh semua orang
yang sudah memperoleh hak memilih. Kelihatannya, memilih atau tidak sudah
menjadi hak asasi dari tiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Orang pun
tidak terlalu mempersoalkan seberapa jauh politik berperan dalam masyarakat.
Justru jika politik disalahgunakan masyarakat akan dengan mudah mengecamnya.
Karena kedaulatan ada di tangan rakyat, mereka pula yang kelak akan menentukan
arah politik selanjutnya.
Hampir semua watak
politik modern menyerahkan legitimasi kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan
rakyat menjadi senjata pamungkas untuk membuat, menjalankan dan bahkan
mematahkan/merobohkan manifestasi politik yang sengaja dibebankannya.
Manifestasi politik merupakan tindakan dan argumentasi yang sengaja dibuat dan
sengaja pula dijalankan sebagai wujud pilihan hidup berdemokrasi. Namun pada
waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya,
manakala skema-skema manifestasi politik itu sudah tidak sesuai lagi dengan
cara berpolitik pada masyarakat tertentu.
Lalu, salahkah ketika
masyarakat yang mencoba ingin meloloskan diri dari “belenggu” cara berpolitik
yang berseberangan dengan keyakinannya. Keyakinan untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya
baik dalam arti obyektif maupun sebaliknya. Situasi ini menunjukkan politik
akan menampilkan ekspersi kebebasan dalam kemajemukan perbedaan. Seperti apa
yang dituliskan dimuka, masyarakat adalah tempat berkelebatnya politik, maka
faktor kebutuhan akan melahirkan varian kepentingan yang berbeda. Dibalik itu
rupanya tersimpan kerumitan antara masyarakat dan politik, salah satunya cermin
cara berpolitik yang berbeda dan menjadikan perilaku politik masyarakat
terfragmentasi kepada kepentingan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono, Kabul. 2012. Teori dan Filsafat Ilmu Politik.
Bandung: Alfabeta.
J.H. Rapar. 2001.
Filsafat Politik. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Labolo, Muhadam.2010. Memahami
Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Easton, David. 1957. The Fuction of Formal Education in a
Political System, dalam School Review. Vol. 65,
Autumn.
Soerjosoedarmo, Soemendar. 1985. Laporan Temu Ilmiah Pengkajian Ilmu
Pemerintahan.
Abernethy, David dan Combee, Trevor. 1965. Educations and Politics in Developing Countries. Dalam Harvard Educational Review. Vol. 35. No.3